Jumat, 31 Juli 2015

Ketua MUI Beri Klarifikasi Soal Fatwa Haram BPJS Kesehatan

Slamet Effendi Yusuf, Ketua Bidang Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengklarifikasi pemberitaan yang menyebut lembaga itu mengeluarkan fatwa haram terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial nasional di bidang kesehatan.

Slamet mengakui bahwa Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan tinjauan-tinjauan tentang penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional yang dilaksakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Namun bukan fatwa haram.

"Tinjauan-tinjauan itu belum sampai pada kata haram. Hanya (disebutkan) belum sejalan dengan prinsip syariah," kata Slamet Effendi Yusuf yang diwawancarai Kompas TV di arena Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur, Jumat (31/7/2015).

Slamet Effendi Yusuf diwawancara bersama Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siroj. "Tidak ada fatwa haram, itu kesimpulan wartawan saat membaca rekomendasi MUI," tegas Slamet.

Sementara itu Said Aqil Siroj mengungkapkan polemik 'BPJS Kesehatan' itu menjadi salah satu materi pembahasan di forum Muktamar ke-33 NU yang mulai digelar Sabtu (1/8/2015). "Nanti yang membahas adalah sidang Komisi Bahtsul Masail," kata Said Aqil Siroj.

Sebelumnya diberitakan MUI mengeluarkan tinjauan mengenai BPJS Kesehatan dalam keputusan yang dihasilkan forum pertemuan atau ijtima Komisi Fatwa MUI di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura, Bojong, Tegal, Jawa Tengah, pada Juni 2015. Dalam ijtima itu, Komisi Fatwa MUI menyebut bahwa iuran dalam transaksi yang dilakukan BPJS Kesehatan tidak sesuai ketentuan syariah. Lalu apa yang menjadi dasar pertimbangannya?

Ketua bidang fatwa MUI, Ma'ruf Amin menjelaskan, yang menjadi persoalan bukanlah subsidi silang yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan. Namun, sistem pengelolaan dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Menurut Ma'ruf, masyarakat tidak tahu uangnya diinvestasikan ke mana.

Dalam transaksi syariah, tidak boleh menimbulkan maisir dan gharar. Adapun, maisir adalah memperoleh keuntungan tanpa bekerja, yang biasanya disertai unsur pertaruhan atau spekulasi. Sementara gharar secara terminologi adalah penipuan dan tidak mengetahui sesuatu yang diakadkan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.

"Kalau itu dibiarkan diinvestasi tanpa syariah, ada maisir-nya, seperti berjudi. Karena uang itu bisa diinvestasikan ke mana saja," ujar Ma'ruf saat dijumpai di kantornya, Kamis (30/7/2015).
Sehingga dari dua unsur itu, BPJS Kesehatan dianggap belum bisa memenuhi syariah. Seharusnya, pada saat akad, peserta BPJS diberikan pengetahuan lengkap sehingga uang yang disetorkannya benar-benar dimanfaatkan untuk hal-hal yang memenuhi syariat Islam.

Tak hanya itu, Ma'ruf melanjutkan, BPJS Kesehatan juga melakukan riba, yang dilarang oleh Islam. Riba didapat BPJS Kesehatan dengan menarik bunga sebagai denda atas keterlambatan pembayaran. "Enggak boleh, kalau syariah enggak boleh begitu," kata dia.

www.facebook.com/travelarmina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar